Sabtu, 24 Agustus 2013

Pengalaman Belanja di Amazon Japan


Saya sudah dua kali belanja di Laman Amazon Japan dan ingin berbagi cerita. Pada dua kesempatan belanja ini, saya membeli buku-buku pola menjahit baju.
Pengalaman pertama.
Karena terkendala bahasa, saya coba googling dengan kata kunci “How to shop on amazon Japan” dan terdampar disini: nattoli.net/amazonguide. Dari petunjuk di laman ini lah saya memberanikan diri untuk mencoba bertransaksi. Saya membeli tiga buah buku sekaligus! Iya, ini trik saya untuk berhemat dengan ongkos kirim.  Tiga buah buku total JPY 3600, ongkos kirim dengan DHL (untuk international shipping wilayah Asia Tenggara) adalah JPY 1900, dan ongkos handling per item adalah JPY 300, JPY 300 x 3 buah buku= JPY 900, Total tagihan di kartu kredit saya JPY 6400 atau Rp 678.118,- 
Note:handling per item JPY 300 itu aneh deh. Soalnya buku-bukunya dikemas jadi satu, kirain dibungkus plastik satu-satu.
Nah, yang buat deg-degan itu saya tidak tahu perkiraan pajak masuk Indonesia. Paket sampai dalam hitungan hari dan kekhawatiran saya jadi kenyataan. Pajak yang harus saya bayar sebesar USD 32,59 yang kalau dirupiahkan senilai Rp 225.643,- Tuing, tuing…tanpa banyak tanya saya langsung bayar karena sudah ngebet ingin lihat buku-buku idaman.
Lama kemudian saya bertemu dengan saudara yang bekerja di Fedex, iseng saya tanya bea masuk untuk buku dari luar berapa sih. Katanya sebesar 5% dari nilainya. Nah! Kenapa kemarin saya kena sekitar 30% dari nilai belanja saya ya? Saya baru tahu lama kemudian hari kalau nilai belanja diatas USD 50 kena pajak masuk 30% :(
Pengalaman Kedua
Belajar dari pengalaman pertama, saya berniat belanja lagi di Amazon Japan tapi harus diakalin supaya nggak kena pajak semahal seperti di pengalaman pertama saya. Buku-buku yang saya taksir kali ini lumayan mahal karena textbook menjahit ala Jepang dalam bahasa Inggris. Untung saya menemukan salah satunya ada yang second hand dengan kondisi “brand like new”, seharga JPY 2000 plus ongkir JPY 250. Dua buku lainnya masing-masing seharga JPY 2940 (saya coba cari yang second hand tapi harganya beda tipis dari baru itupun kondisinya tidak ada yang “brand like new” seperti buku yang pertama). Dan free ongkir untuk alamat di Jepang. Beruntungnya saya, ada seorang teman yang barusan pindah ke Jepang untuk ikut suaminya yang ambil S2. Saya kirim buku-buku itu ke alamatnya, lalu saya minta tolong untuk dikirimkan ke Indonesia dengan biaya yang termurah. Teman saya setuju. Pertama, paket buku saya dibungkus dengan kardus amazon dan sesampainya di Kantor Pos ternyata beratnya 2020 gram, kelebihan 20 gram dari batas maksimal economy package. Teman saya gemas, dibawanya pulang dan tiga buah buku itu dibungkus ulang dengan kertas koran bekas lalu diikat tali rafia kuat-kuat. Kali ini beratnya turun dibawah 2000 gram. Mulailah perjalanan si paket dengan SAL economy package seharga JPY 1600. Katanya akan sampai dalam waktu tiga minggu. Setelah satu minggu berlalu, setiap ada motor memasuki halaman rumah saya pun tak kuasa untuk tak melongokkan kepala ke jendela. Dua minggu, ada motor masuk rumah dan ketika saya lihat dari jendela ternyata Pak Pos membawa paket berbungkuskan kertas koran. Saya pun langsung melonjak dan lari menyambut. Kira-kira kena pajak berapa ya, tanya saya dalam hati. Saya pun tertegun ketika Pak pos langsung berlalu setelah menyerahkan paket dari Jepang. Nggak kena sepeserpun? Tanya saya dalam hati. Bukannya ada bea Rp 7.000,- untuk bungkus ulang? Paket saya memang dimasukkan ke kantong plastik bertuliskan PT POS INDONESIA lalu diikat tali kenur. Setelah saya buka, kertas korannya sudah disobek kanan kiri atas bawah, tapi tali pengikatnya memang diikat kuat-kuat. Lalu di keterangan pos, teman saya menuliskan books dan gift. “Gift” nya itu yang bikin bebas bea. Horeeeeee ( Wanna hug Dian for her kindness :*)

Rabu, 21 Agustus 2013

Meet my companions

Halo, perkenalkan dua temanku ini.
Yang pertama, Singer jadul milik ibuku. Alkisah pada tahun 80-an ibuku membeli
mesin jahit Singer elektrik secondhand milik tetangga yang sedang membutuhkan uang. Padahal ibuku sendiri tidak atau belum bisa menjahit. Jadilah si Singer disimpan di gudang. Kurang lebih 20 tahun kemudian, aku teringat pada si Singer dan ingin belajar menjahit entah wangsit darimana. Si Singer dikeluarkan dari gudang, dilap bersih dan dicoba. Hasil jahitannya...amburadul. Iyalah, habis tidur lama :) Mau tak mau si Singer kubawa ke tukang servis diantar pacar (yang sekarang jadi suami) naik motor eh di jalan kena operasi polisi. Mas Pacar belum punya SIM C waktu itu :D
Beberapa hari kemudian tiba saatnya menjemput si Singer diantar Mas Pacar. Disana ditanya mbak dan mas di tempat servis, sudah bisa mengoperasikan belum? Kujawab, baru mau belajar. Eh, malah dapat kursus singkat buat lubang kancing, pasang kancing dan tentu saja jahit lurus. Baik ya :D
Dimulailah perkenalanku dengan dunia menjahit. Jahit pertama langsung coba-coba membuat tote bag sederhana dari bahan spunbound (bener nggak ya nulisnya?) warna biru tua, merah, coklat tua. Ada yang polosan dan ada yang diberi aplikasi dari bahan flanel dan...dijual. Selain itu juga buat kantong hp persegi diserut dengan hiasan memanfaatkan aplikasi dekoratif dari si Singer. Waktu itu aku dan teman-temanku, kami berempat, berkreasi untuk mendapat tambahan uang jajan. Lucu-lucu deh, ada ikat rambut dengan hiasan bahan flanel, bros, gantungan kunci, magnet kulkas dengan bentuk beraneka ragam dari flanel dan dijahit tangan. Pada awalnya kami ikut jualan di acara Sunday Morning tapiii kendalanya harus bangun pagi-pagi sekali supaya mendapat tempat strategis padahal kalau sudah ngumpul nginep bareng paling asyik ngobrol sampai....subuh #oahem. Lalu kami menemukan toko kecil pernak-pernik dekat kampus tempat kami bisa menitipkan hasil kreasi kami :D
Eh ngelantur.

Tahun berlalu, si Singer masuk gudang lagi ditelan kesibukanku bekerja, menikah dan punya anak pertama.
Ketika dikeluarkan lagi untuk menjahit baju, Si Singer ngadat. Beberapa kali servis tidak bisa memfungsikan zigzag stitch yang menurutku penting sekali untuk membuat lubang kancing atau untuk mengunci pinggiran kain. Mulailah memendam keinginan untuk memiliki yang baru.
Tawaran tak terduga datang dari Pak Suami ketika aku habis melahirkan anak ketiga. Katanya, kamu ingin dibelikan apa? Spontan kujawab, mesin jahit! *nyengir kuda.
Karena tahu diri, pengeluaran sedang banyak untuk biaya melahirkan dan aqiqah, aku memilih untuk mencari mesin secondhand. Cari di sana-sini dapatlah si Janome 380 dalam kondisi muluuus :D. Makasih Pak Suami :*